Masyarakat
Jawa kaya akan tradisi dan budaya. Entah berapa banyak tradisi dan ritual adat
yang sebagian besar dibalut dengan unsur-unsur spritual. Dan semuanya memiliki
akar sejarah panjang karena merupakan warisan nenek moyang. Desa Somongari adalah
suatu desa yang terletak di wilayah Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo, + 2 Km ke arah selatan dari Ibu Kota
Kecamatan Kaligesing dan merupakan deretan pegunungan Menoreh yang terkenal
dengan penghasilan buah durian, manggis dan kokosan/langsep.
Sebuah
tradisi unik menjadi rutinitas warga di Desa Sumongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten
Purworejo. Tradisi yang dipelihara masyarakat setempat sebagai kearifan lokal yakni
upacara merti desa Keba Palawija (Jolenan)
yang dilangsungkan pada bulan Sapar. Istilah “Jolenan” berasal dari kata “Ojo
Lenan” atau janganlah mudah terlena atau lupa kepada Gusti Allah atas
segala keberkahan hidup. Tradisi dua
tahunan merti desa Keba Palawija atau yang biasa disebut Jolenan atau Saparan
digelar warga di Lereng perbukitan Munggang Kitiran, Desa Somongari, Kecamatan
Kaligesing, Purworejo.
Acara memperebutkan makanan atau ngalap berkah yang disebut Saparan atau Jolenan di Desa Somongari dipercaya masyarakat setempat sebagai wujud upaya tolak bala dengan doa serta ungkapan rasa syukur kepada Gusti Allah Ingkang Murbeng Dumadi, atas berkah melimpahnya hasil tanaman buah-buahan dan palawija di bumi Somongari.
Acara memperebutkan makanan atau ngalap berkah yang disebut Saparan atau Jolenan di Desa Somongari dipercaya masyarakat setempat sebagai wujud upaya tolak bala dengan doa serta ungkapan rasa syukur kepada Gusti Allah Ingkang Murbeng Dumadi, atas berkah melimpahnya hasil tanaman buah-buahan dan palawija di bumi Somongari.
Sebelum
dilangsungkan kenduri dilakukan arak-arakan Jolenan
berupa tumpeng besar dan hasil bumi. Suara rampak kendang membahana di
kaki bukit Menoreh yang subur 'ijo
royo-royo' di Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo. Di
sepanjang jalan desa yang dipadati ribuan pengunjung, para penari dengan
khusyuknya menari mengikuti irama musik tetabuhan. Berbagai bentuk kesenian
seperti kuda lumping, reog, dolalak, incling, dan shalawatan dikerahkan warga
desa untuk meramaikan upacara tradisi adat Jolenan atau sedekah bumi.
A.
Jolenan
Jolenan berasal dari kata dasar jolen, kependekan
dari kata aja lalen (bahasa jawa)
atau jangan lupa. Kata ini mengandung makna mengingatkan kepada masyarakat Desa
Somogari agar tidak lupa terhadap Tuhan pencipta alam dan para leluhurnya yang
telah berusaha mendirikan desanya.
Jolenan merupakan pesta rakyat sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan YME
atas berkah-Nya sehingga tanah Desa Somongari subur dan bisa menghasilkan
tanaman dan buah-buahan lebat. Karenanya, pesta rakyat Jolenan juga disebut
sebagai merti desa Keba Palawija atau Palagumantung. Mayoritas mata pencaharian
warga adalah mengandalkan buah-buahan, seperti durian, manggis dan mundung.
Jolen merupakan simbol yang menggambarkan perbukitan Somongari yang kaya
akan hasil bumi. Beratnya kurang lebih 50 kilogram. Jolen sendiri merupakan
semacam keranjang dengan alas segi empat berukuran 80 cm x 80 cm yang diberi
tutup berbentuk piramida dengan tinggi 160 cm. Di dalamnya diisi dengan tumpeng
dan ayam panggang sedangkan ledre dan binggel (makanan rakyat) diikat dan
digantungkan pada ujung sebilah bambo ditancapkan di sekeliling jolen.
B.
Sejarah Munculnya
Tradisi Jolenan
Pada jaman dulu,
kurang lebih sejaman dengan Majapahit, daerah yang sekarang kita sebut Desa
Somongari merupakan daerah hutan belantara yang sama sekali tidak seorang
manusiapun berani menempatinya. Kita ibaratkan dengan bahasa Jawa: Sato mara sato mati, janma mara janma mati,
Dewa mara keplayu. Yang artinya, “segala binatang bila mendekat mati, semua
manusia bila mendekat juga akan mati, pergi dari daerah itu”. Hal ini
disebabkan karena tempat itu banyak didiami makluk halus yang konon amat
membahayakan. Sehingga tak ada orang atau seekor binatangpun yang berani
memasuki daerah tersebut.
Konon kabarnya pada
jaman Majapahit, terjadi suatu peperangan antara Kerajaan Majapahit dengan
Kerajaan Pajajaran yang terkenal dengan nama perang Bubat. Pada saat itu,
diantara prajurit kerajaan Majapahit ada yang berjalan melalui daerah yang
sekarang dinamakan Desa Somongari. Barisan prajurit tersebut dipimpin oleh
Adipati Singanegara, Pangeran Lokajaya dan seorang lagi Pangeran Purwokusumo.
Rombongan tersebut beristirahat di daerah itu sampai beberapa saat lamanya.
Karena dirasa enak beristirahat di tempat tersebut, maka Adipati Singanagara
dan para prajurit diperintahkan untuk terus bermukim di situ serta diperintahkan
untuk menebang hutan-hutan sedikit demi sedikit untuk tempat tinggal.
Di depan diceriterakan
bahwa tempat tersebut adalah suatu tempat dimana di daerah tersebut adalah
daerah yang gawat, karena makluk-makluk halus yang berkuasa di situ sangat
buas.
Ternyata diantara
prajurit yang menebang kayu banyak yang mati atau hilang karena perbuatan
makluk-makluk halus. Setelah diketahui oleh Adipati Singanegara beberapa kali
tentang kejadian tersebut, maka bersemedilah Adipati Singanegara. Beliau
bersemedi dalam bulan Sura sampai dengan bulan Sapar. Di dalam semedi itu,
Adipati Singanegara diganggu oleh para makluk halus terutama oleh rajanya yang
menurut keterangan amatlah sakti. Namun demikian raja makluk halus tersebut
dapat ditaklukkan. Karena kekalahan yang diderita raja makluk halus itu, maka
tepat pada bulan Sapar, hari Selasa Wage, menyerahkan daerah kekuasaannya
kepada Adipati Singanegara. Makhluk halus tak akan mengganggu lagi walaupun
daerah itu akan dijadikan suatu kerajaan, malahan akan membantu segala usaha
Adipati Singanegara, dengan perjanjian agar mereka diberi sesaji pada
waktu-waktu tertentu.
Konon kabarnya, setelah
Adipati Singanegara dapat menaklukkan makluk halus, maka dimulailah penebangan
hutan, pengaturan daerah sehingga Adipati Singanegara ditunjuk sebagai pimpinan
daerah tersebut. Dan langsung menempati daerah itu beserta para prajurit dan
keluarganya. Mulai saat itu, daerah tersebut merupakan daerah yang baik, tentram,
aman, panjang punjung loh jinawi, gemah
ripah, tata raharja.
Kemudian Pangeran
Lokajaya dikawinkan dengan puteri Adipati Singanegara (yang kemudian Pangeran
Lokajaya terkenal dengan sebutan Mbah Somongari). Pangeran Purwokusumopun
bertempat tinggal di situ. Beliau mempunyai dua orang anak, seorang putra dan
seorang putri. Ke dua orang tersebut sampai tua tidak mau bersuami istri. Yang
putra tak mau beristri kalau tidak sama dengan saudaranya perempuan. Demikian pula
sebaliknya yang putri, akhirnya kedua orang tersebut meninggal tanpa sebab.
Maka makam ke dua orang tersebut juga dijadikan satu tempat yang sampai
sekarang terkenal dengan nama Makam Kedono
Kedini, yang akhirnya menjadi pepundhen
rakyat Desa Somongari.
Untuk memperingati
kemenangan Adipati Singanegara berperang melawan raja makluk halus, pada setiap
hari Selasa Wage pada bulan Sapar tiap dua tahun sekali dirayakan upacara yang
dikenal dengan kegiatan Merti Desa Kebo Palagumantung / Palawija dan lebih terkenal
dengan sebutan Jolenan. Dan upacara selamatan desa tersebut ditempatkan di
halaman Makam Kedono Kedini dengan
menampilkan atraksi kesenian Tayub dan kesenian lain asal Desa Somongari.
C.
Proses Pelaksanaan
Upacara Tradisi Jolenan
1.
Sebelum saat yang ditentukan (biasanya dimulai jam 09.00),
maka jolen yang diikuti oleh masyarakat dan jenis-jenis kesenian yang ada,
berdatangan ke halaman pepundhen Kedono
Kedini.
Menurut kebiasaan
Jolen yang diadakan sesuai dengan banyaknya pedukuhan yang ada. Setiap
pedukuhan biasanya mengeluarkan dua buah jolen, dan secara keseluruhan kurang
lebih berjumlah 80-100 buah .
Setiap kesenian yang
dikirimkan secara bergantian dengan
grup kesenian yang lain harus mempersembahkan kebolehan grupnya di halaman makam
Kedono Kedini +30 menit.
2.
Setelah berkumpul di halaman Pepundhen Kedono Kedini,
upacara dimulai, dipimpin/diatur oleh kepala desa beserta perangkat dan panitia
lainnya.
3.
Kecuali pituah-pituah dari kepala desa, biasanya diadakan
pula sambutan-sambutan dari pejabat kabupaten diantaranya Bupati.
4.
Selanjutnya diadakan pawai (arak-arakan) melalui
jalan-jalan di sekeliling tempat upacara atau kampung.
5.
Pawai didahului oleh rombongan kepala desa beserta stafnya,
kemudian jolen-jolen dan rombongan grup-grup kesenian secara berselang-seling.
6.
Setelah pawai berkeliling melalui jalan-jalan yang sudah
ditentukan, maka pawai kembali lagi ke halaman pepundhen Kedono-Kedini.
7.
Begitu jolen diturunkan, maka diadakan perebutan makanan
biasanya oleh semua pengunjung.
8.
Sedangkan tumpeng dan ayam panggang, sebagian digunakan
selamatan di situ dengan diawali keterangan maksud dan tujuan diadakannya
selamatan oleh juru kunci yang diberi kuasa pepundhen tersebut. Lalu dibacakan
doa secara agama Islam yang akhirnya dimakan bersama-sama. Sebagian tumpeng dan
ayam panggang dibawa pulang oleh pembawa jolen masing-masing.
9.
Upacara diteruskan dengan kesenian Tayub. Biasanya seorang
penari yang disebut Tayub yang sedang menari lalu diimbangi menari oleh para
kaum pria yang didahului oleh kepala desa.
10. Bersamaan tayub, maka
semua kesenian yang mengikuti pawai
diharapkan untuk bermain / dipentaskan di halaman terbuka.
Adapun kesenian yang
terdapat di daerah tersebut yang biasa mengikuti upacara antara lain: kentrung,
reog, kuda kepang, incling dan dolalak. Upacara tersebut diakhiri pukul + 15.00. Untuk menghibur kelelahan siang
harinya, biasanya pada malam harinya diadakan suatu pentas kesenian yang utama
adalan tayuban
D.
Tujuan Pelaksanaan
Upacara Tradisi Jolenan
1.
Upacara perayaan Jolenan tersebut sebagai
ungkapan rasa syukur kepada Tuhan karena telah diberi limpahan rezeki dari
hasil bumi.
Lewat acara ini, warga berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan harapan
warga terbebas dari ancaman bahaya. Selain itu agar warga yang sebagian besar
tinggal di perbukitan selalu sejahtera dengan hasil bumi yang ada seperti
durian, kokosan, dan manggis.
2.
Perayaan Jolenan juga sebagai ungkapan terima kasih dan
rasa bakti kepada para leluhur yang telah bersusah payah berjuang mendirikan Desa
Somangari. Yang menjadi cikal bakal warga Desa Somongari yakni
Kyai Ageng Somongari dan Kyai Kedono Kedini.
3.
Sebagai suatu alat silaturahmi
antar penduduk Desa Somongari.
4.
Sebagai ritual ngebani tanaman dan
palawija yang tumbuh di Desa Somongari.
Dengan harapan, setelah dikebani maka tanaman dan palawija akan tumbuh
subur dan berbuah lebat yang akan menjadi sumber rezeki bagi masyarakat Desa
Somongari. Pada mulanya kegiatan tersebut sebagai sarana ngebani pohon manggis
dan durian yang menjadi tanaman buah ikon produk alam Desa Somongari dimana kedua jenis
tanaman buah tesebut merupakan penghasil utama Desa Somongari.
5.
Sebagai wujud upaya tolak bala
dengan doa.
6.
Untuk melestarikan tradisi leluhur
budaya bangsa.
7.
Sebagai upaya untuk mengangkat Desa Somongari sebagai desa
wisata.
E.
Ubarampe yang diperlukan
dalam Upacara Tradisi Jolenan
Beberapa ubarampe yang dipersyaratkan dalam acara Jolenan itu antara lain
nasi tumpeng dengan ayam panggang, makanan dari beras ketan/pulut, berupa
juadah dan rengginan, makanan dari ketela, berupa ledre dan binggel, wayang
golek, pisang raja/agung, dan tayuban atau janggrung.
a.
Nasi tumpeng dengan ayam panggang
b.
Makanan dari beras ketan/pulut, berupa
1)
Juadah
2)
Rengginan
c.
Makanan dari ketela pohon, berupa:
1)
Ledre
2)
Binggel
d.
Wayang golek
e.
Pisang agung/raja
f.
Tayub/Janggrung
2.
Arti dari persyaratan tersebut antar lain, memaknai:
a.
Nasi tumpeng dan ayam panggang
Mempunyai pengharapan segala cita-cita/maksud dari dasar
sampai setinggi mungkin agar dapat terlaksana dengan baik
b.
Makanan dari beras ketan/pulut:
Memberikan gambaran, agar rakyat bersatu padu seia sekata
dalam segala langkah dan cita-cita.
c.
Makanan dari ketela pohon
1)
Ledre: melambangkan bahwa daerahnya yang terdiri dari
pegunungan namun hasilnya dapat mencukupi kebutuhan rakyatnya serta dapat di
eksport ke lain daerah.
2)
Binggelan: dapat digambarkan dengan bermacam-macam tiruan
hasil buah-buahan yang terdapat di daerah tersebut.
d.
Wayang golek: melambangkan, agar kita mencari (goleki) arti/maksud sebenarnya.
e.
Pisang agung raja adalah
buah pisang yang dianggap nomor satu/agung dengan harapan dapat
mengagungkan/mengangkat desa tersebut.
Makanan dan perlengkapan selamatan tersebut ditempatkan di suatu tempat
yang disebut “Jolen”.

F.
Makna yang terkandung dalam Upacara
Tradisi Jolenan.
Makna yang terkandung dalam ritual yang telah
berjalan puluhan bahkan ratusan tahun itu adalah bahwa ritual Jolenan pada
dasarnya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rezeki berlimpah, dengan memberikan panen pada tanaman yang hidup di
desanya. Seraya memohon keselamatan dari mara bahaya, serta rezeki yang lebih
di tahun mendatang.
Jolenan diwujudkan dalam bentuk gubungan yang
terbuat dari anyaman bambu (ancak) yang ditutup dengan anyaman daun aren muda.
Bentuk ini mengandung makna, segi empat di bawah menggambarkan hubungan sesama
manusia di dunia. Kemudian ke atas semakin mengerucut, hal ini dimaksudkan
semua kegiatan di dunia ini, pada akhirnya menyatu untuk menyembah kepada Tuhan
sang pencipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar